SAUDAH BINTI ZAM’AH radhiallâhu
‘anha
(Sang isteri yang merelakan
haknya)
Beliau
adalah Saudah binti Zam’ah bin Qais bin Abdi Syams bin Abud Al-Quraisyiyah
Al-Amiriyyah.
Ibunya
bernama Asy-Syamus binti Qais bin Zaid bin Amru dari bani Najjar. Beliau juga
seorang Sayyidah yang mulia dan terhormat. Sebelumnya pernah menikah dengan
As-Sakar bin Amru saudara dari Suhair bin Amru Al-Amiri. Suatu ketika beliau
bersama delapan orang dari bani Amir hijrah meninggalkan kampung halaman
dan hartanya, kemudian menyebrangi dasyatnya lautan karena ridha menghadapi
maut dalalm rangka memenangkan diennya. Semakin bertambah siksaan dan
intimidasi yang mereka karena mereka menolak kesesatan dan kesyirikan.
Hampir-hampir tiada hentinya ujian menimpa Saudah belum usai ujian tinggal
dinegeri asing (Habsyah) beliau harus kehilangan suami beliau sang muhajirin.
Maka beliaupun menghadapi ujian menjadi seorang janda disamping juga ujian
dinegeri asing.
Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa sallam menaruh
perhatian yang istimewa terhadap wanita muhajirah yang beriman dan telah
menjanda tersebut. Oleh karena itu tiada henti-hentinya Khaulah binti Hakim
as-Salimah menawarkan Saudah untuk beliau hingga pada gilirannya beliau
mengulurkan tangannya yang penuh rahmat untuk Saudah dan beliau
mendampinginya dan membantunya menghadapi kerasnya kehidupan. Apalagi umurnya
telah mendekati usia senja sehingga membutuhkan seseorang yang dapat menjaga
dan mendampinginya.
Telah tercatat dalam sejarah tak seorangpun sahabat yang berani
mengajukan masukan kepada Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa sallam tentang
pernikahan beliau setelah wafatnya Ummul Mukminin ath-Thahirah yang telah
mengimani beliau disaat menusia mengkufurinya dan menyerahkan seluruh
hartanya disaat orang lain menahan berntuan terhadapnya dan bersamanya pula
Allah mengkaruniakan kepada Rasul putra-putri.
Akan
tetapi hampir-hampir kesusahan menjadi berkepanjangan hingga Khaulah binti
Hakim memberanikan diri mengusulkan kepada Rasulullah dengan cara yang lembut
dan ramah:
Khaulah: Tidakkah anda ingin menikah ya Rasulullah?
Nabi: (Beliau menjawab dengan suara yang menandakan kesedihan) dengan siapa saya akan menikah
Setelah dengan Khadijah?
Khaulah : jika anda ingin bisa dengan seorang gadis dan bisa pula dengan seorang janda.
Nabi : jika dengan seorang gadis,siapakah gadis tersebut?
Khaulah : Putri dari orang yang anda cintai yakni Aisyah binti Abu Bakar.
Nabi : (Setelah beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam diam untuk beberapa saat kemudian bertanya)jika dengan seorang janda?
Khaulah : Dia adalah Saudah binti Zam’ah, seorang wanita yang telah beriman kepada anda dan mengikuti yang anda bawa .
Nabi: (Beliau menjawab dengan suara yang menandakan kesedihan) dengan siapa saya akan menikah
Setelah dengan Khadijah?
Khaulah : jika anda ingin bisa dengan seorang gadis dan bisa pula dengan seorang janda.
Nabi : jika dengan seorang gadis,siapakah gadis tersebut?
Khaulah : Putri dari orang yang anda cintai yakni Aisyah binti Abu Bakar.
Nabi : (Setelah beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam diam untuk beberapa saat kemudian bertanya)jika dengan seorang janda?
Khaulah : Dia adalah Saudah binti Zam’ah, seorang wanita yang telah beriman kepada anda dan mengikuti yang anda bawa .
Beliau menginginkan Aisyah akan tetapi terlebih dahulu beliau
nikahi Saudah binti Zam’ah yang mana dia menjadi satu-satunya isteri (beliau
(setelah wafatnya Khadijah) selama tiga tahun atau lebih baru kemudian masuklah
Aisyah dalam rumah tangga Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Orang-orang di Makkah merasa heran terhadap pernikahan
Nabi dengan Saudah binti Zam’ah. Mereka bertanya-tanya seolah-olah tidak
percaya dengan kejadian tersebut, seorang janda yang telah lanjut usia dan
tidak begitu cantik menggantikan posisi Sayyidah wanita Quraisy dan hal itu
menarik perhatian bagi para pembesar-pembesar diantara mereka.
Akan tetapi kenyataan membuktikan bahwa sesungguhnya Saudah atau
yang lain tidak dapat menggantikan posisi Khadijah, akan tetapi hal itu adalah,
kasih sayang dan penghibur hati adalah menjadi rahmat bagi beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallamyang
penuh kasih.
Adapun Saudah radhiallaahu
‘anha mampu untuk menunaikan
kewajiban dalam rumah tangga Nubuwwah dan melayani putri-putri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mendatangkan kebahagiaan dan
kegembiraan di hati Nabi Shallallaahu
‘alaihi wa sallamdengan ringannya ruhnya dan sifat periangnya dan
ketidaksukaannya terhadap beratnya badan.
Setelah tiga tahun rumah tangga tersebut berjalan maka masuklah
Aisyah dalam rumah tangga Nubuwwah, disusul kemudian istri-istri yang lain
seperti Hafsah, Zainab, Ummu Salamah dan lain-lain. Saudah radhiallaahu ‘anha menyadari bahwa NabiShallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak
mengawininya dirinya melainkan karena kasihan melihat kondisinya setelah
kepergian suaminya yang lama. Dan bagi beliau hal itu telah jelas dan nyata
tatkala Nabi Shallallaahu
‘alaihi wa sallam ingin
menceraikan beliau dengan cara yang baik untuk memberi kebebasan kepadanya,
namun Nabi nerasa bahwa hal itu akan menyakiti hatinya.Tatkala Nabi
mengutarakan keinginannya untuk menceraikan beliau, maka beliau merasa
seolah-olah itu adalah mimpi buruk yang menyesakkan dadanya, maka beliau
merengek dengan merendahkan diri berkata: “pertahankanlah aku ya Rasulullah
!demi Allah tiadalah keinginanku diperistri itu karena ketamakan saya akan
tetapi hanya berharap agar Allah membangkitkan aku pada hari kiamat dalam
keadaan menjadi Istrimu.
Begitulah Saudah radhiallaahu
‘anha lebih mendahulukan
keridhaan suaminya yang mulia, maka beliau berikan giliran beliau kepada Aisyah
untuk menjaga hati RasulullahShallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beliau radhiallaahu ‘anha sudah tidak memiliki keinginan
sebagaimana layaknya wanita lain.
Maka
Rasulullah menerima usulan istrinya yang memiliki perasaan yang halus tersebut,
maka turunlah ayat Allah:
“Maka tidak mengapa bagi keduannya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).”(An-Nisa’:128).
Saudah radhiallaahu
‘anha tinggal dirumah tangga
nubuwwah dengan penuh keridhaan dan ketenangan dan bersyukur kepada Allah yang
telah menempatkan posisinya disamping sabaik-baik makhluk di dunia dan dia
bersyukur kepada Allah karena mendapat gelar ummul mukminin dan menjadi istri
Rasul di jannah. Akhirnya wafatlah Saudah radhiallaahu
‘anha pada akhir pemerintahan
Umar bin Khattab radhiallaahu
‘anha.
Ummul mukminin Aisyah radhiallaahu
‘anha senantiasa mengenang
dan mengingat perilaku beliau dan terkesan akan keindahan kesetiaannya. Aisyah
berkata: “Tiada seorang wanitapun yang paling aku sukai agar aku memiliki sifat
seperti dia melebihi Saudah binti Zam’ah tatkala berusia senja yang mana dia
berkata: “Ya Rasulullah aku hadiahkan kunjungan anda kepadaku untuk
Aisyah hanya saja beliau berwatak keras”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar